Definisi dan Ukuran
Kemiskinan
Kemiskinan Agregat
Kemiskinan agregat menunjukkan proporsi dan
jumlah penduduk miskin yang hidup dibawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan
agregat atau yang sering disebut angka kemiskinan makro digunakan untuk
mengukur kemajuan pembangunan suatu bangsa.
Perhitungan kemiskinan yang digunakan adalah
pendekatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Dalam
implementasinya dihitunglah garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan makanan dan
bukan makanan. Penduduk yang memiliki rata‐rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di bawah garis
kemiskinan disebut penduduk miskin.
Angka jumlah penduduk miskin seperti yang dijelaskan di atas, disebut juga sebagai Poverty Headcount Index atau P0. Jumlah penduduk yang memiliki tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan ini sering juga disebut sebagai Poverty Incidence. Mengapa digunakan konsumsi dalam menghitung jumlah penduduk miskin? Setidaknya ada 3 (tiga) alasan utama: Pertama, dalam pelaksanaan survei, terutama bagi masyarakat miskin yang mempunyai pendapatan tidak tetap, lebih mudah menanyakan jenis barang (termasuk makanan) dan jasa yang telah dikonsumsi atau dibelanjakannya. Kedua, dengan diketahuinya jenis makanan yang dikonsumsi maka akan menjadi jauh lebih mudah untuk mengkonversinya menjadi tingkat kalori yang dikonsumsi. Informasi mengenai tingkat kalori yang dikonsumsi menjadi penting karena tingkat kemiskinan dihubungkan dengan seberapa besar kalori yang dikonsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan ditetapkan 2100 kilo kalori per orang perhari sebagai batas kemiskinan. Ketiga, dalam kenyataannya, terutama bagi penduduk miskin yang tidak mempunyai tabungan, dalam jangka menengah tingkat pendapatan akan sama dengan tingkat konsumsi (belanja).
Rumah
Tangga Sasaran
Data kemiskinan agregat hanya menggambarkan
persentase dan jumlah penduduk miskin. Walaupun sangat berguna untuk mengetahui
kemajuan pembangunan suatu bangsa, namun tidak dapat digunakan sebagai
penetapan sasaran program penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan
kemiskinan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
dan Program Bantuan Pendidikan membutuhkan informasi tentang siapa dan
dimana penduduk miskin itu berada (by name dan by address).
Penyaluran program penanggulangan kemiskinan
memerlukan nama dan alamat rumah tangga sasaran. Data rumah tangga sasaran (RTS) ini sering disebut data kemiskinan mikro.
Pengumpulan datanya harus dilakukan secara sensus. Pengumpulan data rumah
tangga sasaran didasarkan pada ciri‐ciri rumah tangga miskin yang diperoleh dari survei kemiskinan
agregat.
Tabel
1. Ciri-ciri Rumah Tangga Sasaran (RTS)
No
|
Variabel
|
Kriteria
|
1
|
Luas lantai per anggota rumah tangga/keluarga
|
< 8m²
|
2
|
Jenis lantai rumah
|
Tanah/papan/kualitas rendah
|
3
|
Jenis dinding rumah
|
Bambu, papan kualitas rendah
|
4
|
Fasilitas tempat buang air besar (jamban)
|
Tidak punya
|
5
|
Sumber air minum
|
Bukan air bersih
|
6
|
Penerangan yang digunakan
|
Bukan listrik
|
7
|
Bahan bakar yang digunakan
|
Kayu/arang
|
8
|
Frekuensi makan dalam sehari
|
Kurang dari 2 kali sehari
|
9
|
Kemampuan membeli daging/ayam/susu dalam
seminggu
|
Tidak
|
10
|
Kemampuan membeli pakaian baru bagi setiap ART
|
Tidak
|
11
|
Tidak
|
|
12
|
Lapangan
pekerjaan kepala rumah tangga
|
Petani gurem, nelayan, pekebun
|
13
|
Pendidikan kepala rumah tangga
|
Blm
pernah sekolah/Tdk tamat SD
|
14
|
Kepemilikan aset/barang berharga minimal Rp.
500.000,-
|
Tidak ada
|
Pengumpulan data RTS ini telah dilakukan BPS
sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada bulan Oktober 2005 dan September 2008. Daftar
RTS yang dihasilkan bukan hanya data rumah tangga (RT) miskin, tetapi juga
mencakup daftar RT hampir miskin (near poor).
Jumlah anggota RTS yang tergolong miskin,
jumlahnya konsisten dengan jumlah penduduk miskin secara agregat. Jadi,
sebetulnya tidak ada dua angka kemiskinan. Jumlah anggota RTS dalam pelaksanaan
program Bantuan Tunai Langsung (BLT) lebih besar dari jumlah penduduk miskin
secara agregat, dikarenakan jumlah tersebut juga memasukkan RTS hampir miskin.
BPS akan melakukan pengumpulan data RTS
kembali pada tahun 2011. Pengumpulan data tersebut menggunakan metodologi yang
telah disempurnakan. Dengan dikumpulkannya data RTS pada tahun 2011, diharapkan
seluruh program penanggulangan kemiskinan bersasaran (targeted program)
menggunakan data RTS tersebut (Unified Database).
Sangat Miskin
|
Miskin
|
Hampir Miskin
|
Total
|
|
Nanggroe Aceh Darussalam
|
83,254
|
219,528
|
226,970
|
529,752
|
Sumatera Utara
|
146,674
|
301,223
|
390,466
|
838,363
|
Sumatera Barat
|
46,001
|
97,469
|
113,968
|
257,438
|
R i a u
|
37,356
|
95,703
|
120,691
|
253,750
|
J a m b i
|
23,395
|
48,804
|
60,938
|
133,137
|
Sumatera Selatan
|
107,132
|
244,589
|
245,221
|
596,942
|
Bengkulu
|
24,268
|
55,968
|
40,366
|
120,602
|
Lampung
|
116,838
|
333,194
|
289,962
|
739,994
|
Bangka Belitung
|
4,887
|
8,093
|
15,428
|
28,408
|
Kepulauan Riau
|
14,145
|
20,809
|
39,647
|
74,601
|
SUMATERA
|
603,950
|
1,425,380
|
1,543,657
|
3,572,987
|
28,909
|
51,063
|
100,688
|
180,660
|
|
Jawa Barat
|
484,683
|
1,008,786
|
1,347,065
|
2,840,534
|
Jawa Tengah
|
467,726
|
1,147,239
|
1,273,396
|
2,888,361
|
DI Yogyakarta
|
34,937
|
89,868
|
76,823
|
201,628
|
Jawa Timur
|
493,004
|
1,256,122
|
1,330,696
|
3,079,822
|
Banten
|
100,701
|
208,337
|
320,280
|
629,318
|
JAWA
|
1,609,960
|
3,761,415
|
4,448,948
|
9,820,323
|
B a l i
|
12,176
|
45,222
|
77,406
|
134,804
|
Nusa Tenggara Barat
|
96,444
|
255,728
|
207,108
|
559,280
|
Nusa Tenggara Timur
|
113,321
|
223,159
|
217,290
|
553,770
|
BALI DAN NUSA TENGGARA
|
221,941
|
524,109
|
501,804
|
1,247,854
|
Kalimantan Barat
|
58,709
|
104,551
|
183,415
|
346,675
|
Kalimantan Tengah
|
24,978
|
39,073
|
74,290
|
138,341
|
Kalimantan Selatan
|
30,481
|
56,134
|
82,804
|
169,419
|
Kalimantan Timur
|
28,156
|
73,511
|
87,330
|
188,997
|
KALIMANTAN
|
142,324
|
273,269
|
427,839
|
843,432
|
Sulawesi Utara
|
19,877
|
49,379
|
46,539
|
115,795
|
Sulawesi Tengah
|
28,192
|
64,502
|
66,432
|
159,126
|
Sulawesi Selatan
|
88,781
|
213,380
|
211,959
|
514,120
|
Sulawesi Tenggara
|
45,473
|
104,625
|
103,059
|
253,157
|
Gorontalo
|
16,524
|
31,419
|
22,574
|
70,517
|
Sulawesi Bais kemrat
|
27,064
|
30,373
|
33,136
|
90,573
|
SULAWESI
|
225,911
|
493,678
|
483,699
|
1,203,288
|
Maluku
|
33,450
|
72,618
|
38,268
|
144,336
|
Maluku Utara
|
11,592
|
21,921
|
22,747
|
56,260
|
Irian Jaya Barat
|
29,255
|
48,433
|
34,405
|
112,093
|
Papua
|
112,387
|
208,351
|
166,696
|
487,434
|
MALUKU DAN PAPUA
|
186,684
|
351,323
|
262,116
|
800,123
|
Indonesia
|
2,990,770
|
6,829,174
|
7,668,063
|
17,488,007
|
Ukuran Kemiskinan lain
Ukuran kemiskinan lain yang sering digunakan
adalah Poverty Gap Index atau P1. Indeks ini menggambarkan
selisih (dalam persen terhadap garis kemiskinan) rata-rata antara pengeluaran
penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Jumlah seluruh populasi digunakan
untuk menghitung rata-rata dengan menganggap selisih sama dengan 0 (nol) bagi
penduduk yang berada di atas garis kemiskinan. Indeks ini menggambarkan
kedalaman kemiskinan (the depth of poverty). Perkembangan angka indeks P1
dari waktu ke waktu yang semakin kecil menunjukkan terjadinya perbaikan.
Ukuran kemiskinan lain adalah Poverty
Severity Index atau P2. Indeks Keparahan Kemiskinan ini adalah jumlah
dari kuadrat selisih (dalam persen terhadap garis kemiskinan) rata-rata
antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Jumlah seluruh
populasi digunakan untuk menghitung rata-rata dengan menganggap selisih sama
dengan 0 (nol) bagi penduduk yang berada di atas garis kemiskinan. Dengan
melakukan pengkuadratan, indeks ini memberi bobot yang lebih besar bagi
penduduk miskin yang memiliki pengeluaran jauh di bawah garis kemiskinan.
Serupa dengan P1, Perkembangan angka indeks P2 dari waktu ke waktu yang semakin
kecil menunjukkan terjadinya perbaikan.
Baik menggunakan P1 maupun menggunakan P2,
menunjukan adanya perbaikan dari waktu ke waktu, seperti terlihat pada gambar
2.
Gambar 2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Dan
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
Ukuran kemiskinan lain yang sering
digunakan adalah menggunakan batas kemiskinan 1 (satu) US$ dan 2 (dua) US$ per
kapita per hari. Batas kemiskinan menggunakan US$ ini sering disalah artikan
dengan menggunakan nilai tukar biasa (exchange rate) untuk mendapatkan garis
kemiskinan. Sehingga kalau nilai tukar adalah Rp. 8.500 per satu dolar, maka
garis kemiskinan 1 (satu) US$ per kapita per hari, menjadi Rp. 255.000 per
kapita per bulan. Bila perhitungan ini benar maka menjadi lebih tinggi dari
garis kemiskinan nasional yang sebesar Rp. 233.740 per kapita per bulan,
kenyataannya tidak begitu. Nilai tukar yang digunakan dalam perhitungan garis
kemiskinan 1 (satu) US$ dan 2 (dua) US$ adalah nilai tukar dolar PPP (Purchasing Power Parity). Nilai tukar
PPP menunjukkan daya beli mata uang di suatu negara, dalam hal ini US$, untuk
membeli barang dan jasa yang “sama” di negara lain. Ilustrasi sederhana adalah
sebagai berikuti, bila seseorang di Indonesia membeli beras seharga Rp.
5000 per liter, sementara di Amerika satu liter beras dengan kualitas yang sama
harganya adalah 1 (satu) US$, dengan nilai tukar biasa artinya Rp. 8.500,
dengan pengertian nilai tukar PPP, maka orang di Indonesia yang membeli beras
tadi dianggap telah membelanjakan 1 (satu) US$, walaupun pada
kenyataannya dia hanya mengeluarkan Rp. 5000. Dalam realitanya tidak
sesederhana ilustrasi di atas, barang dan jasa yang tersedia tidak hanya
beras melainkan ratusan barang dan jasa lainnya.
Dengan menggunakan US$ PPP tadi, maka garis
kemiskinan nasional pada saat ini adalah sekitar 1,25 US$ PPP per kapita per
hari. Dengan demikian garis kemiskinan nasional yang digunakan selama ini lebih
tinggi dari batas 1 (satu) US$ PPP. Tidak heran, bila kita menggunakan ukuran
garis kemiskinan 1 (satu) US$ per kapita per hari, justru jumlah orang
miskin di Indonesia hanya sekitar 10,01 % pada tahun 2009 lebih sedikit
dengan jumlah orang miskin yang dikeluarkan oleh BPS yaitu 14,15 % pada tahun
2009. Untuk kepentingan tujuan Milleninium Development Goals (MDGs), digunakan ukuran kemiskinan 1 US$ per
kapita per hari. Sasaran MDGs untuk tingkat kemiskinan Indonesia adalah 10,3%
pada tahun 2015. Dengan ukuran ini Indonesia telah mencapai sasaran MDGs pada
tahun 2009, jauh sebelum tahun 2015.
Dengan menggunakan ukuran kemiskinan 2 (dua)
US$ PPP per kapita per hari, jumlah orang miskin di Indonesia menjadi sekitar
50 %. Ukuran kemiskinan 2 (dua) US$ PPP per kapita per hari biasanya digunakan
untuk negara yang kondisi ekonominya jauh lebih baik. Untuk negara bekembang
ukuran 2 US$ per kapita per hari dianggap terlalu tinggi. Namun demikian, jika
perkembangan tingkat kemiskinan menggunakan ukuran yang konsisten, maka baik
dengan menggunakan 1 US$ per kapita per hari, maupun dengan 2 US$ per kapita
per hari, maupun dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan nasional, tingkat
kemiskinan di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus menurun setiap
tahunnya.
Walaupun tingkat kemiskinan cenderung menurun
dari tahun ke tahun, namun jumlah absolutnya masih sangat besar. Pada tahun
2011, tingkat kemiskinan nasional adalah 12,49 % atau 30 juta orang. Jumlah ini
lebih banyak dari pada jumlah penduduk Malaysia (28,2 juta orang). Hal ini
merupakan tantangan dan pekerjaan rumah yang sangat besar bagi semua pihak.
Baik menggunakan ukuran 1 US$ per kapita per
hari maupun menggunakan 2 US$ per kapita per hari, menunjukan adanya perbaikan
dari waktu ke waktu, seperti terlihat pada gambar 3.
Gambar 3. Proporsi Penduduk dengan Tingkat
Pendapatan Di Bawah 1 US$ PPP/Kapita/Hari, 2 US$ PPP/Kapita/Hari, Garis
Kemiskinan Nasional



Tidak ada komentar:
Posting Komentar